
Puncak Tawakal
Acap kali kita dengar, bahkan ucapkan, “yang penting tawakal dulu,”. Tapi, apakah definisi tawakal yang kita lakukan sudah sesuai dengan pengertian terminologi dari kata tawakal ini?
Membahas tawakal rasanya tidak afdol jika tidak kita sebutkan definisinya. Tawakal adalah sikap pasrah kepada Allah disertai usaha atau menempuh asbab (sebab-sebab) tercapainya tujuan. Bukan tawakal namanya, jika hanya berserah tanpa dibarengi usaha. Bukan juga tawakal, usaha mati-matian yang dijadikan patokan. Kita memang dianjurkan untuk berusaha semaksimal mungkin, namun di sela dan setelah usaha keras itu harus ada rasa berserah pada Yang Maha Kuasa. Harus ada kesadaran bahwa apa yang kita lakukan hanyalah asbab. Adapun Musabbibnya (yang menjadikan tujuan terwujud) itu tetap Allah. Apa yang Ia kehendaki pasti terjadi, meski seluruh makhluk-Nya bersatu untuk menolaknya. Dan segala sesuatu yang tidak Ia kehendaki tak mungkin terjadi, meski seluruh makhluk-Nya bahu membahu untuk mewujudkannya.
Lalu, setelah usaha dikerahkan dan urusan dipasrahkan, diikuti hati yang ridha dengan apapun hasil yang diberikan. Yakin bahwa apapun yang Allah berikan itu adalah rahmat dan yang terbaik dari-Nya. Maka, orang yang bertawakal adalah tidak sedih atau kecewa dengan hasil yang didapatnya. Karena ia yakin, ada pahala di setiap usahanya. Ada kebaikan yang Allah simpan untuk mengejutkannya. Ada marabahaya yang mungkin akan menimpanya jika keinginannya tercipta.
Tingkat tertinggi dari tawakal itu sering disebut oleh para ulama sebagai "tawakalnya para nabi dan orang shalih"—di mana seseorang tidak hanya pasrah setelah usaha, tapi dia sampai pada level bergantung sepenuhnya hanya kepada Allah, bahkan rasa takut, harap, dan cintanya pun hanya kepada Allah.
Ciri-cirinya:
Usahanya tetap maksimal, tapi hatinya tidak tergantung pada hasil atau sebab.
Tidak panik ketika gagal, pun tidak sombong kala sukses.
Rasa tenangnya bukan karena dia yakin usahanya hebat, tapi karena keyainannya bahwa Allah pasti cukupkan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS ketika hendak dilempar ke api. Dia tak gelisah, tidak minta bantuan ke manusia—hanya berkata:
"Hasbiyallahu wa ni‘mal wakil" (Cukuplah Allah sebagai penolongku dan sebaik-baik tempat bergantung).
Itu puncak tawakal—seluruh jiwa dan raganya diserahkan pada Allah, tanpa goyah sedikit pun.
Jadi, puncak tawakal adalah hati yang sepenuhnya tenang dan yakin, hanya kepada Allah, dalam segala hal.